ASAS POKOK PENDIDIKAN
Khusus untuk pendidikan di Indonesia, terdapat sejumlah asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asas–asas tersebut bersumber dari kecenderungan umum pendidikan di dunia dan bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan di Indonesia (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 117).
1. ASAS TUT WURI HANDAYANI
Asas
Tut wuri Handayani merupakan asas pendidikan
Indonesia yang bersumber dari asas Pendidikan Taman Siswa yang dikemukakan oleh Ki Hajar
Dewantara yaitu seorang
perintis kemerdekaan dan pendidikan nasional.
Makna Tut wuri
Handayani adalah:
a.
Tut wuri:
Mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta
kasih dan tanpa pamrih.
b.
Handayani: Mempengaruhi
dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, dan menggairahkan
anak agar sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui
disiplin pribadi (Arga, 2011, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan).
Asas Tut wuri Handayani yang
dikumandangkan oleh Ki Hajar tersebut mendapat tanggapan positif dari Drs. RMP
Sosrokartono (filsuf dan ahli bahasa) dengan menambahkan dua semboyan untuk
melengkapinya, yakni Ing Ngarso Sung Tulada dan Ing Madya Mangun Karsa. Kini
ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas, yaitu:
a.
Ing Ngarso Sung
Tulada (jika di depan menjadi contoh)
b.
Ing Madya
Mangun Karsa (jika di tengah-tengah membangkitkan kehendak, hasrat atau
motivasi)
c.
Tut wuri
Handayani (jika di belakang mengikuti dengan awas)
Asas Tut Wuri Handayani ini bermakna bahwa setiap orang
berhak mengatur dirinya sendiri dengan berpedoman kepada tata tertib kehidupan
yang umum. Menurut asas ini, dalam penyelenggaraan pendidikan,
seorang guru merupakan pemimpin yang
berdiri di belakang dengan bersemboyan “tut wuri handayani”, yaitu tetap
mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri
dan tidak terus-menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Guru hanya wajib
menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak serta hanya
bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila anak
didik tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai rintangan. Dapat dikatakan bahwa asas Tut Wuri
Handayani ini merupakan cikal bakal dari pendekatan atau cara belajar siswa
aktif (Umar Tirtarahardja dan La
Sulo, 1994: 123)..
2. ASAS BELAJAR SEPANJANG
HAYAT
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang tidak pernah sempurna, dia
selalu berkembang mengikuti
perkembangan yang terjadi di lingkungan kehidupannya. Dewasa ini,
akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang amat pesat, terjadi perubahan yang amat
pesat dalam berbagai aspek kehidupan. Akibatnya, apa yang dipelajari oleh
seseorang pada beberapa tahun yang lalu dapat menjadi tidak berarti atau tidak
bermanfaat lagi. Hal ini disebabkan karena apa yang
telah dipelajarinya sudah tidak relevan lagi dengan berbagai masalah kehidupan
yang dihadapinya. Jadi, implikasi
dari kemajuan ilmu dan teknologi yang amat pesat tersebut ialah seseorang
dituntut untuk mau dan mampu belajar sepanjang hayat (Tim Pembina MK Pengantar Pendidikan, 2008, dalam Bahan Ajar Pengantar Pendidikan).
Asas belajar sepanjang hayat
merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup. Ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang sudah tidak asing lagi ditelinga, beliau
bersabda yang artinya: ”Tuntutlah ilmu dari buaian sampai meninggal dunia”. Jadi, Islam telah lama mengenal konsep belajar
sepanjang ayat ini jauh sebelum orang-orang Barat mengangkatnya (Rangga, 2011, dalam
Jurnal Ilmu Pendidikan).
Pendidikan seumur hidup adalah
pendidikan yang harus:
a. Meliputi seluruh hidup setiap individu
b. Mengarahkan kepada pembentukan, pembaharuan, peningkatan dan penyempurnaan
secara sistematis pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat meningkatkan
kondisi hidupnya
c. Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri setiap individu
d. Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri
e. Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi,
termasik yang formal, non formal dan informal (La Sulo, 1990: 25-26).
Dalam latar pendidikan seumur hidup,
proses belajar-mengajar di sekolah seharusnya
mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yaitu:
1. Memberikan
pembelajaran kepada peserta didik dengan efesien dan efektif
2. Meningkatkan
kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai dasar dari belajar sepanjang
hayat
Kurikulum yang dapat dirancang dan diimplementasikan yaitu kurikulum yang memperhatikan dua dimensi, yaitu sebagai berikut:
1. Dimensi
vertikal dari kurikulum sekolah, meliputi
keterkaitan dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan
dengan kehidupan peserta didik di masa depan
2. Dimensi
horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar
di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.
Perancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi
itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di
sekitarnya. Kemampuan dan kemauan menggunakan sumber belajar yang tersedia itu
akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yang
mempunyai warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang
gemar belajar (learning society). Dengan kata lain, akan terwujudlah gagasan
pendidikan seumur hidup seperti yang tercermin di dalam sistem pendidikan
nasional Indonesia (Umar
Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 123).
3. KEMANDIRIAN DALAM
BELAJAR
Asas Tut Wuri
Handayani dan asas belajar
sepanjang hayat secara langsung sangat erat kaitannya dengan asas kemandirian
dalam belajar. Asas Tut Wuri Handayani
didasarkan pada asumsi bahwa dalam kegiatan belajar-mengajar peserta didik mampu untuk mandiri dalam belajar. Kemandirian
dalam belajar itu dapat
dikembangkan dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu siap
untuk membantu apabila diperlukan. Selanjutnya, asas
belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada pendapat
bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar. Oleh karena
itu, tidak mungkin seseorang belajar sepanjang hayatnya
apabila selalu tergantung dari bantuan guru atau pun orang lain.
Perwujudan asas
kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama
sebagai fasilitator, informator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru diharapkan dapat menyediakan dan mengatur
berbagai sumber belajar dengan sedemikian rupa, sehingga memudahkan peserta
didik berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai informator, guru
harus menyadari bahwa dirinya hanya merupakan bagian kecil dari sumber-sumber
informasi yang ada. Oleh karena itu, guru perlu memberikan dan bahkan
merangsang peserta didik untuk mencari informasi selain dari dirinya sendiri.
Sedangkan sebagai motivator, guru mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik
untuk dapat memanfaatkan sumber belajar secara maksimal (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994:
123).
Terdapat beberapa strategi belajar-mengajar yang dapat
mengembangkan kemandirian dalam belajar, yaitu:
a. Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
b. Belajar dari modul, paket belajar,
dan sebagainya
c. Belajar dengan didukung oleh suatu
pusat sumber belajar (PSB) yang memadai. PSB memberi peluang tersedianya
berbagai jenis sumber belajar, di samping bahan di perpustakaan. Dengan
dukungan PSB itu asas kemandirian dalam belajar akan lebih dimantapkan dan
dikembangkan (Umar Tirtarahardja dan La
Sulo, 1994: 123).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar