Aliran-aliran
Pendidikan
Pendidikan
merupakan aspek terpenting dalam membangun karakter manusia. Namun, dalam
perkembangannya, pendidikan sering dianggap tidak penting bahkan dianggap tidak
diperlukan. Akan tetapi, pendidikan pada waktunya menempati posisi penting
dalam kehidupan. Saat manusia sadar, bahwa pendidikan merupakan aspek luar yang
membangun keterampilan dan kemampuan manusia lain. Fase-fase tersebut dapat
terlihat dari teori-teori pendidikan yang muncul, mulai dari teori empirisme,
nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Masing-masing teori menyampaikan
kelebihan dan kekurangan pendidikan serta bagaimana peran pendidikan dalam
kehidupan masyarakat. Perkembangan tersebut, penting untuk dipelajari dan
dihikmahi, mengingat semua teori tersebut pada hakikatnya mendasari
konsep-konsep pendidikan saat ini. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas empat
teori tersebut.
1.Nativisme
Aliran
nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan)
yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa
sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak
dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak,
sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh
terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa
aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor
yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata
dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya
pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar. Para penganut aliran nativisme
berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan
buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang
sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan
pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat
akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai
dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk
perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya. Bagi nativisme, lingkungan
sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam
mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika
anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila
mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan
pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar. Tokoh utama
(pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh
lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis.
Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri
manusia. Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang
tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang
tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang
menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan
dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan
B.
Empirisme
Aliran
empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri
= pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir
manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak
membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar
peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan. Dalam teori belajar
mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang
mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman
belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia
sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas
ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Tokoh
perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke
(1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia
bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari
lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan
demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang
peranan penting terhadap keberhasilan peserta didiknya. Menurut Redja
Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral, karena
menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya,
dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar
semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta
didik menurut aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan
ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka.
Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, dan empirisme dan dikaitkan
dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan
(nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan
adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah.
Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam
pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu
dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak
dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa
justru lingkungan yang mempengaruhi peserta didik tersebut.
C.
Naturalisme
Naturalisme
merupakan aliran yang menyakini adanya pembawaan dan juga milieu (lingkungan).
Namun demikian, ada dua pandangan besar mengenai hal ini. Pertama disampaikan
oleh Rousseau yang berpendapat bahwa pada dasarnya manusia baik, namun jika ada
yang jahat, itu karena terpengaruh oleh lingkungannya. Kedua, disampaikan oleh
Mensius yang berpendapat bahwa pada dasarnya manusia itu jahat. Ia menjadi
manusia yang baik karena bergaul dengan lingkungannya (Ahmadi dan Uhbiyati,
1991: 296). Dua pendapat ini jelas memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
Satu sisi memandang sisi jahat manusia bersumber dari lingkungan, sementara
pendapat lain menyatakan bahwa sisi jahat itu sendiri yang justru berada pada
diri manusia. Namun, jika memperhatikan dua pendapat ini memiliki sisi
kebenaran yang sama jika ditilik dari sudut genetis. Memang, jika melihat
faktor ini. Manusia yang secara genetis tidak baik, maka ia akan menjadi
manusia yang seperti ini, begitupun sebaliknya. Menurut paham naturalisme paling
tidak ada lima tujuan pendidikan, kelima pendapat itu disampaikan oleh Spencer
dalam Sudrajat (2013) yang terdiri dari (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan
kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial
dan politik; (5) Menikmati waktu luang. Dari lima tujuan pendidikan ini, jelas
bahwa aliran naturalisme ini mementingkan manfaat pendidikan dengan menjadikan
pemeliharaan diri menjadi faktor utama yang kemudian disusul dengan kebutuhan
hidup. Kedua faktor tersebut akan tercapai jika faktor faktor ketiga secara
maksimal dilaksanakan. Agar maksimal maka faktor keempat dan kelima yang
kemudian menjadi perhatian dalam melakukan pendidikan. Selain itu menurut
Spencer dalam Sudrajat (2013), ada enam prinsip dalam proses pendidikan beraliran
naturalisme. Delapan prinsip tersebut adalah:
- Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam;
- Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik;
- Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak;
- Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan;
- Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak;
- Praktik mengajar adalah seni menunda;
- Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif;
- Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik.
Kiranya
delapan prinsip pendidikan itu sangat jelas. Namun karakter khas yang terlihat
dari aliran naturalisme ini, adalah bagaimana anak berkembang secara wajar. Hal
ini dapat dilihat pada poin nomor tiga yang menyatakan bahwa pendidikan harus
berjalan spontan. Akan tetapi, spontanitas itu bukan berarti tidak bermutu.
Justru menurut naturalisme, spontanitas merupakan sarana untuk mendapat
pengetahuan baik beruoa fisik maupun otak seperti yang tersebut pada poin empat
dan lima, Jadi jelaslah, bahwa naturalisme menghendaki bahwa pendidikan yang
berjalan secara wajar tanpa intervensi yang berlebihan sehingga membuat anak
tersebut justru merasa terancam. Hal ini dilakukan atas dasar, bahwa anak
memiliki potensi insaniyah yang memungkinkan untuk dapat berkembang secara
alamiah. Adapun tokoh naturalisme ini adlaah J.J. Rousseau (1712-1778) dan
Schopenhauer (1788-1860 M). Kedua tokoh ini, merupakan tokoh yang sering dikutip
pendapatnya berkaitan dengan naturalisme.
D.
Konvergensi
Konvergensi
dipelopori oleh William Stern. Gagasan Stern mengenai konvergensi ini didasari
pada dua teori sebelumnya, yakni nativisme dan empirisme. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa konvergensi merupakan gabungan antara kedua teori
tersebut. Hal ini dapat ditilik dalam teori konvergensi yang menyatakan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan manusia itu bergantung pada faktor bakat/pembawaan
dan faktor lingkungan, pengalaman/pendidikan (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991: 294).
Jika diidentifikasi teori tersebut, maka jelas bahwa unsur nativisme dan
empirisme membangun kedua teori itu. Hal itu tercermin pada, faktor bakat
merupakan gagasan teori nativisme sedangkan faktor lingkungan merupakan gagasan
empirismi. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan
anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peran
yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu anak tersebut dilahirkan
tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang baik
sesuai dengan perkembangan bakat anak itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik
tidak akan menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri
anak itu tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk dikembangkannya. Sebagai
ilustrasi, anak dalam tahun pertama mempelajari bahasa bukan karena dorongan
dan bakat. Melainkan karena meniru suara ibunya dan orang-orang di sekitarnya.
Namun, tanpa ada bakat dan dorongan, tentu saja hal itu tidak dimungkinkan.
Sehingga kedua aspek ini sama pentingnya. Sebagai gambaran lain, seorang yang
memiliki bakat bermain musik, namun karena lingkungan tidak
mengkondisikan orang tersebut, maka ia pun tidak akan menjadi pemusik hebat.
Ada tiga teori konvergensi yang terkenal yang disampaikan oleh Stern, yakni:
- Pendidikan mungkin dilaksanakan.
- Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
- Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan
Pandangan
konvergensi ini tentu saja memberi arah yang jelas mengenai pentingnya
pendidikan. Bahwa, pendidikan harus dilakukan agar potensi anak dapat
ditingkatkan. Sehingga bakat yang ada semakin terasah, sementara kompetensi
lain pun ikut diasah.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta. Saphuha, Julaiha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar