ILMU DAN NILAI
Kaum positivisme yang tidak membedakan ilmu alam, sosial dan ilmu kemanusiaan merupakan pembela gigih gagasan ilmu bebas nilai. Arti bebas nilai bagi mereka antara lain tampak pada penggunaan metodologi yang sama bagi semua ilmu tanpa mempersoalkan perbedaan objek tiap ilmu yang memiliki ciri khas.Dalam sejarah pemikiran Descartes (1596-1650) yang mencoba dengan keraguan metodisnya mencari titik tolak kebenaran yang tidak dikaitkan baik pada dogma maupun nilai tertentu. Ia menemukan bahwa dasar yang pasti dari kebenaran adalah “Akuyang berpikir”. Dari titik tolak itulah kebenaran lain harus diturunkan. Auguste Comte (1798-1857) bahkan berpendapat lebih tajam, penjelasan berbagai gejala yang didasarkan pada titik tolak ajaran agama (teologi) disamakan dengan tahap berpikir manusia sewaktu masih anak-anak. Penjelasan berbagai gejala dalam rangka mencari kebenaran haruslah dengan cara positif lewat percobaan (eksperimen) dalam pengalaman indrawi. Inilah yang disebut ilmu.
Perjalanan pemikiran ilmu dan filsafatnya bahkan mencatat munculnya kaum neopositivisme yang beranggapan pernbicaraan tentang niiai, metafisika, dan Tuhan tidak bermakna karena tidak bisa diuji secara empiris (diverifikasi). Peinbicaraan lebih lanjut mengenai masalah ini dapat dibaca pada tulisan “Aliran – Aliran dan Tokoh-Tokoh Filsafat Ilmu”. Perkembangan lebih lanjut khususnya dalam ilmu sosial dan kemanusiaan menunjukkan bahwa persoalan metodologi pun tidak bebas dari perdebatan mengenai nilai. Mazhab Frankfurt yang dimotori Horkheimer bahkan menuduh ilmu sosial yang bebas nilai lebih merupakan ideologi ketimbang ilmu karena dengan mempertahankan gagasan bebas niiai, ilmu-ilmu sosial itu sebenarnya bersikap membenarkan keadaan sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang ingin dipertahankannya dalam terminologi bebas nilai. Ilrnu -ilmu sosial seperti itu tidak lagi memiliki daya kritis untuk mempertanyakan niiai-nilai yang ingin dipertahankan.
Pertanyaan di sekitar tujuan-tujuan dan cara pengembangan ilmu yang tidak dapat dijawab sendiri oleh ilmu kiranya akan memaksa ilmu untuk mencari referensi kepada patokanpatokan lain, seperti moral dan agama. Tentu saja, keadaan ini tidak akan memaksa kita kembali ke abad pertengahan ketika Galileo diadili, melainkan untuk memberi makna barn baik kepada ilmu maupun nilai. Inilah tantangan bare yang harus dihadapi dewasa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar