Selasa, 20 Desember 2016

ILMU DAN NILAI



ILMU DAN NILAI

Kaum positivisme yang tidak membedakan ilmu alam, sosial dan ilmu kemanusiaan merupakan pembela gigih gagasan ilmu bebas nilai. Arti bebas nilai bagi  mereka  antara  lain  tampak  pada penggunaan  metodologi  yang  sama  bagi semua ilmu tanpa mempersoalkan perbedaan objek tiap ilmu yang memiliki ciri khas.
Dalam  sejarah  pemikiran  Descartes  (1596-1650)  yang  mencoba  dengan keraguan metodisnya mencari titik tolak kebenaran yang tidak dikaitkan baik pada dogma maupun nilai tertentu. Ia menemukan bahwa dasar yang pasti dari kebenaran adalah “Akuyang berpikir”. Dari titik tolak itulah kebenaran lain harus diturunkan. Auguste Comte (1798-1857) bahkan berpendapat lebih tajam, penjelasan berbagai gejala yang didasarkan pada titik tolak ajaran agama (teologi) disamakan dengan tahap berpikir manusia sewaktu masih anak-anak. Penjelasan berbagai gejala  dalam  rangka  mencari  kebenaran haruslah dengan cara positif lewat percobaan (eksperimen) dalam pengalaman indrawi. Inilah yang disebut ilmu.
Perjalanan  pemikiran  ilmu  dan  filsafatnya  bahkan  mencatat  munculnya kaum neopositivisme yang beranggapan pernbicaraan tentang niiai, metafisika, dan Tuhan tidak bermakna karena tidak bisa diuji secara empiris (diverifikasi). Peinbicaraan lebih lanjut mengenai masalah ini dapat dibaca pada tulisan “Aliran – Aliran dan Tokoh-Tokoh Filsafat Ilmu”. Perkembangan lebih lanjut khususnya dalam ilmu sosial dan kemanusiaan menunjukkan bahwa persoalan metodologi pun tidak bebas dari perdebatan mengenai nilai. Mazhab Frankfurt yang dimotori Horkheimer bahkan menuduh ilmu sosial yang bebas nilai lebih merupakan ideologi ketimbang ilmu karena dengan mempertahankan gagasan bebas niiai, ilmu-ilmu sosial itu sebenarnya bersikap membenarkan keadaan sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang ingin dipertahankannya dalam terminologi bebas nilai. Ilrnu -ilmu sosial seperti itu tidak lagi memiliki daya kritis untuk mempertanyakan niiai-nilai yang ingin dipertahankan.
Pertanyaan di sekitar tujuan-tujuan dan cara pengembangan ilmu yang tidak dapat dijawab sendiri oleh ilmu kiranya akan memaksa ilmu untuk mencari referensi kepada patokanpatokan  lain, seperti moral dan  agama. Tentu  saja, keadaan  ini tidak akan memaksa kita kembali ke abad pertengahan ketika Galileo diadili, melainkan untuk memberi makna barn baik kepada ilmu maupun nilai. Inilah tantangan bare yang harus dihadapi dewasa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar